Rumah Sakit Jiwa
Spesialis Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Royal Taruma
Senin, Selasa, Jumat, Rabu, Kamis
Cecilia R. Padang Spesialis Penyakit Dalam Rumah Sakit Pluit Rumah Sakit Royal Taruma Senin, Selasa, Jumat, Rabu, Kamis 00:00 - 24:00
Rumah Sakit Premier Jatinegara
Senin, Rabu, Kamis, Sabtu, Selasa, Jumat
Sukono Djojoatmodjo Spesialis Saraf Rumah Sakit Pluit Rumah Sakit Premier Jatinegara Senin, Rabu, Kamis, Sabtu, Selasa, Jumat 08:00 - 20:00
Soeprianto Wiradjaja (Didi) Spesialis Bedah Rumah Sakit Pluit Senin, Rabu, Jumat 18:00 - 20:00
Spesialis Obstetri dan Ginekologi
Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi
Senin, Rabu, Sabtu, Selasa, Kamis
Muljana Hasan Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Rumah Sakit Meilia Rumah Sakit Pluit Senin, Rabu, Sabtu, Selasa, Kamis 00:00 - 24:00
Spesialis Mata, Universitas Indonesia
Selasa, Rabu, Sabtu, Senin
Abdi Kelana Putra Spesialis Mata Spesialis Mata, Universitas Indonesia Rumah Sakit Atmajaya Rumah Sakit Pluit Selasa, Rabu, Sabtu, Senin 08:00 - 12:00
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto
Handrianto Setiajaya Spesialis Bedah Saraf Rumah Sakit Pluit Rumah Sakit Gading Pluit Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Kamis, Sabtu 08:00 - 19:00
Irrianto Hadisurya Spesialis Saraf Rumah Sakit Pluit Senin, Kamis, Sabtu 10:00 - 19:00
Siloam Hospitals Kebon Jeruk
Rabu, Sabtu, Senin, Selasa, Kamis, Jumat
Lorettha Wijaya Spesialis Kulit dan Kelamin Spesialis Kulit dan Kelamin, Universitas Diponegoro Siloam Hospitals Kebon Jeruk Rumah Sakit Pluit Rumah Sakit Atmajaya Rabu, Sabtu, Senin, Selasa, Kamis, Jumat 09:00 - 20:00
‘Lebih memilih dibilang indigo daripada sakit jiwa’
Bagi para dokter jiwa maupun psikolog, menghadapi pasien yang meyakini dirinya atau anaknya sebagai “indigo” atau “berbakat supranatural”, bukanlah suatu hal yang baru.
Psikolog Ratih Ibrahim, misalnya, pernah menangani orang tua yang ngotot bahwa anaknya adalah indigo karena bisa melihat sosok perempuan di atas tumpukan VCD.
“Pas ditelusuri ternyata waktu umur tiga tahun diputarkan VCD sama mbaknya, eh filmnya film horor. Ternyata, ini adalah faktor trauma,” tutur Ratih.
“Ada juga yang bilang, ‘Anak saya bisa meramal’ dan kebetulan ramalannya benar. Ternyata setelah dilakukan asesmen, dia habis nge-mushroom, dan indikasi skizofrenianya besar banget, tapi orang tuanya enggak mau terima,” sambungnya.
Pada kasus-kasus seperti itu, Ratih mengatakan tidak mudah untuk membuat mereka bisa menerima kondisi tersebut.
Ini terkait dengan stigma terhadap gangguan jiwa yang belum bisa diterima oleh sebagian masyarakat.
“Mereka bisa marah banget dengan saya, karena saya menghancurkan belief system yang mereka punya. ‘Saya pikir anak saya indigo terus malah Anda bilang anak saya gangguan jiwa?’ Ya mereka marah lah,” kata Ratih.
“Saya tentu berharapnya setelah konsultasi, mereka tercerahkan. Tapi sayangnya, tidak semudah itu,” sambungnya.
Penyangkalan-penyangkalan serupa juga ditemukan oleh KPSI ketika mengkampanyekan kesadaran soal gangguan jiwa.
“Banyak orang dengan gejala psikosomatik tidak bisa ditolong karena keluarganya lebih memilih dibilang indigo daripada sakit jiwa," kata Ketua KPSI Bagus Utomo.
"Stigma di masyarakat masih sangat kental, kalau konsul ke psikiater distigma sakit jiwa. Jadi lebih memilih ke dukun, guru spiritual karena dianggap lebih tinggi tingkatnya daripada sakit jiwa."
Menurut Bagus, sering kali penyangkalan ini berujung pada perdebatan yang membenturkan antara sains, budaya dan tradisi, hingga keyakinan agama.
KPSI enggan memperdebatkannya karena sering kali justru membuat mereka yang menyangkal semakin antipati dengan pertolongan medis.
Sebagai jalan tengah, mereka mengajak orang-orang yang menyangkal untuk melihat fungsi sosial seseorang yang menunjukkan gejala gangguan jiwa.
"Kami mencoba menghargai budaya itu, tapi jangan lama-lama. Kalau tidak ada perubahan, segera saja ke psikiater."
“Misalnya seseorang merasa dapat wahyu, tapi lama-lama dia enggak merawat diri, enggak mau kontak sosial, atau kemampuan sosialnya menurun sehingga akhirnya kehilangan pekerjaan."
"Kalau seperti itu, kami ajak mereka berpikir logis, meminta bantuan kepada profesional, biar segera mendapat penanganan,” jelas Bagus.